Thursday, June 9, 2011

Fourth World War Chapter 3: Go to Japan

Chapter 3: Go to Japan

Banyak yang mati, dan beberapa sedang syok juga pingsan... Tapi aku ga ngeliat sama sekali sahabatku Archard...

“Ross, Archard dimana?” Tanyaku pada seorang temanku bernama Ross Juvalie, mungkin bisa dibilang kecengan Archard.
“Dia...” Ross mulai mengeluarkan air matanya, aku sangat kaget.
“Kenapa? Archard----”
“Gak! Dia gak mati! Dia... Hik... Hik...” Setelah kupikir kayaknya aku salah nanya orang kemudian aku mencari temanku yang lain.
“Maaf Ross, aku gak tau kayaknya aku harus tanya ke yang lain...” Aku langsung melangkah tanpa bisa menenangkannya, tentu saja harus ngomong apa aku? Sedangkan aku ga tau gimana keadaan Archard.
“Ed, tau Archard?” Aku lihat Ed sedang diam saja sambil memandang beberapa mayat yang dimasukkan ke ambulans.
“Archard? Oh, si rambut hitam itu? Dia meninggal” jawab Ed atau Edward Gavotte dengan entengnya, memang sih dia gak gitu deket sama Archard.
“Di-dia mati? Keadaannya?!” Aku mengguncang2 bahu Ed.
“Ketika dia baru mau masuk toko langsung terpental, jadi hanya patah tulang sebelah kanan” terus dia mengusap dagunya sedangkan aku hanya terdiam “oh, Ichiro! Dia gak mati kok! Itu dugaan awalku tapi ternyata dia dibilang oleh palang merah masih ada detak jantungnya, maaf salah informasi---”
“Ya gak pa-pa! Makasih! Pada ke RS mana?!” Aku langsung bangkit lagi dari kesedihan kelam.
“Gak tau tapi pasti rumah sakit terdekat” langsunglah aku berlari.
“Makasih Ed! Oh, iya Ross ikut aku! Archard belum mati!” Tanpa kata2 Ross tersenyum langsung mengejarku dan kita naik taksi.

“Jangan maksain diri buat ngomong, kamu siuman sekarang aja udah bagus banget” sekarang aku dan Ross udah di kamar Archard.
“Gak pa-pa, tapi kayaknya aku ga bisa masak lagi---”
“Gak! Kamu bisa masak Archard! Aku percaya! Cuma ilang 1 tangan udah nyerah kayak gini?!” Ross langsung membentaknya sambil banyak sekali air mata bercucuran di matanya.
“Ada benarnya juga Archard, kalo ada apa2 minta bantuan aja ke aku sama Ross, nanti juga kamu bakal biasa kok pake 1 tangan” rasanya aku merasa sok bijaksana, karena di sini rasanya aku masih kecil sekali, mereka berdua udah 20-an tepatnya 23 tahun.
“Yah, aku bukan nyerah masalah ilang tangan, tapi bos mungkin ga akan nerima aku” jawab Archard berusaha tersenyum tapi susah kayaknya.
“Kenapa gitu?” Aku memang karyawan baru, sejak umurku benar2 15 tahun aku baru mulai bekerja di toko roti Hazelnut ini.
“Kamu gak tahu ya? Bos sangat kejam... Jarang dia mau nerima yang cacat, dia butuh yang profesional...” Ross langsung menghapus air matanya “kupikir kamu ga mau masak lagi, ternyata masalah ini ya...”
“Kalian tau darimana? Tapi kalo dipikir2 sih bener juga soalnya waktu aku masakin sesuatu dia berpikir keras buat nerima aku...” Aku berusaha mengingat masakan yang aku buat, aku membuat sashimi masakan Jepang dengan ikan salmon.
“Pernah ada orang cacat tangan juga ga diterima sama bos, sangat tragis...” Ross mengingat seseorang itu, wajahnya merasa sangat sedih.
“Hah? Parah! Padahal kan bisa dibantu sama karyawan lain! Siapa tau cacat tapi berbakat!” Tak ada yang merespon perkataanku, kemudian aku berdiri untuk lebih memantapkan pembicaraan “aku, akan membantumu Archard!” Ross dan Archard langsung melotot menatapku.
“Hahaha! Ichiro apa yang bisa kamu lakuin? Kamu kan masih ke---”
“Jangan pandang dari umur! Tolong!” Yah walaupun aku masih segini tapi kan aku udah bisa hidup sendiri “percayalah!” Aku menambah keyakinan.
“Baiklah, kita coba nanti!” Archard juga berusaha membangkitkan semangatnya.

“Aku pulang” jawabku, hari ini aku ga kerja jadi aku langsung pulang aja, jam masih menunjukan jam 03.00 p.m.
“Oh kak selamat datang! Oh ya tadi teman kakak siapa ya namanya lupa, pokonya temen deket kakak ngasi kabar katanya temen kakak ada yang meninggal gara2 bom” Naomi yang sedang nonton TV sama sendirian melihat kebelakang, lalu aku duduk juga di sofa.
“Siapa? Maksudku siapa yang meninggal?” Aku tahu pasti yang menelpon antara Fremont dan Clovis.
“Siapa ya? Cewek kok... L... Hmm... Luvia kalo ga salah” adiku berpikir dan dia menemukan jawabanya “ah iya Luvia!”
“Luvia?” Kupikir cukup bagus juga... Dia pergi dari hadapanku, hukuman karena dia nyontek “syukurlah” jawabku singkat sambil ikut menonton TV.
“Haah? Kok syukur sih?” Adiku kesal karena kok responku gitu?
“Memangnya kamu tau gimana dia?” Aku tak menatapnya.
“Engga” jawabnya singkat.
“Dia itu...” Kuceritakan hal-hal nyata tentang Luvia, tetapi adiku tetap memarahiku... Aah! Adiku terlalu dewasa, langsung aja aku siapin makanan mereka... Aku masakin yakiniku deh.

“Dikabarkan di AS tepatnya di kota Washington DC, baru ada teror bom yang kurang diketahui siapa pelakunya” aku dan adik-adiku sedang ada di bandara, kami sedang melihat berita di TV hologram besar disana, sambil menunggu keberangkatan pesawat ke Jepang.
“Ya ampun, aku sih ngeduganya ini teror dari Jerman” tanpa ekspresi aku mengatakan hal yang seperti itu.
“Yah, entahlah” jawab Mackenzie yang duduk di sebelah Naomi.
“Oh iya aku belom nanya kenapa kamu juga perlu ke Jepang?” Tanyaku mengalihkan pandangan dari TV hologram.
“Aku juga gak tau tapi katanya ada tugas di Jepang, aku sih memilih berangkat sendiri. Karena repot kalo bareng2 militer” Mackenzie sekarang hanya pake baju biasa-biasa aja, tapi kopernya besar2 dan ada 2, aku kaget ngeliatnya.
“Oh gitu ya...” Aku menatap keheranan dengan 2 kopernya itu “apa aja itu isinya...” Aku curiga nih sama isinya.
“Yah, 1 koper baju2, sedangkan satunya... Ya kamu taulah!” Dugaanku benar ternyata...
“Kereeen!!! Aku pingin deh megang senjata!” Spontan aku berkata seperti itu tapi Mackenzie sepertinya gak senang.
“Kamu tau? Untuk memegang senjata ini butuh tanggung jawab besar... Dan kesiapan yang besar...” Aku hanya diam menatapnya bingung “tentara AS yang menembak rekanku adalah anak remaja sepertimu... Kupikir dia sepertinya kurang cocok untuk menggunakan senjata seperti itu” Mackenzie murung lalu kembali mengangkat kepalanya “sepertinya pesawat kita akan berangkat”
“Ah, iya. Naomi, Erika ayo bangun kita udah mau naik pesawat. Bantuin lagi bawa barang2nya” aku membawa 2 koper lalu Naomi sambil mengucek2 matanya membawa ranselnya dan tas khusus Erika.

Kami berangkat jam 03.00 p.m, dari Berlin ke Osaka cukup lama, mungkin sekitaran jam 08.00 a.m baru sampe disana... aku duduk sama Erika, Naomi sama Mackenzie, duduk seperti ini udah ditentuin sebelum beli tiket, yang uniknya kita bayar lewat laptop dan tiketnya juga seperti di print di laptop. Jadi ga perlu repot ke bandara.

“Mackenzie, rasanya aku kurang sopan, aku pake bahasa Jepang ya? Oneechan yang berarti kakak perempuan!” aku sedang merapihkan koper dibantu Mackenzie juga.
“ah? Oneechan? Lucu juga ya? Lalu, apa ya itu istilahnya... oh iya bagaimana dengan chan untuk memanggilmu?” Mackenzie memberi kopernya, koper terakhir.
“oh itu, Naomi-chan... atau boleh kok Nao-chan!” Naomi duduk di tempatnya, di dekat jendela pesawat.
“oh baiklah Nao-chan!” Mackenzie masih memegang koper satunya.
“umm... Mackenzie, koper itu?”
“oh ini jangan... lebih baik aku pegang saja” lalu Mackenzie menggeret koper senjatanya, aku gak bales omongannya itu, ga ada topik pembicaraan lagi...

Ditengah perjalanan aku liat pesawat militer Jerman, sepertinya isinya siap bertempur, tentu saja helikopter, tetapi kecepatannya sangat cepat. Beda dengan kita yang harus setengah hari lebih naik pesawat.

“itu pesawat militer kita kan?” aku duduk bersebrangan dengan Mackenzie.
“iya, ada apa ya? Kenapa gak dikasi tau sama sekali?” Mackenzie hanya melihat sekilas dari jendela bagian tempat duduku.
“keperluan biasa kali” sebenernya aku ga ngerti aku ngomong apa.
“wah? Maksudnya apa? Hahaha... memang sih aku ga begitu tugas di depan, tapi aku tugasnya dibagian belakang. Maksudnya, jadi penembak bagian belakang, memegang rifle” aku hanya bingung aja seperti tatapan orang blo’on “oh, sepertinya kamu ga ngerti ya... hahaha! Nanti aku kasi tau rifle itu apa!”
“hahaha gak perlu kok, ngomong2 Mackenzie sama aku bener di hotel yang sama nih?”
“iya hotelnya sama. Aku juga bingung kok kita bisa sama ya?” Mackenzie tertawa lalu ia membuka kopernya “ya ampun aku belom reload peluru untuk handgunku” lalu dia mengeluarkan pistolnya yang ia bilang ‘handgun’ itu, ternyata itu adalah pistol kecil yang biasanya di kepolisian dipakai.
“jadi itu namanya handgun ya? Aku baru tahu, padahal aku sering nonton film action” aku memperhatikan bagaimana dia melakukan ‘reload’ itu.
“ya ini namanya handgun, kalau aku keluarkan rifle, ah itu terlalu besar jadi aku reload di hotel saja”
“wah... jadi pingin liat” aku memperhatikan kopernya, benar2 cewe luar biasa...

No comments:

Post a Comment